Sallary Cap

Salary cap atau dalam bahasa indonesia dapat diterjemahkan bebas sebagai pembatasan gaji. Bentuknya dapat berupa pembatasan nilai tertinggi ataupun pembatasan nilai terendah. Pembatasan nilai terendah sudah biasa dilakukan Pemerintah. Awalnya kita mengenal UMR, sekarang meluas menjadi UMP dan UMK. Soal akronim - akronim itu, semoga sudah terpahamkan. Saya sangat respek bahwa anda mendengar koran dan atau membaca berita. Kilas - kilas berita ekonomi dan penetapan regulasi Pemerintah berupa ketentuan pembatasan upah, jujur saja memang sering saya lupakan. tapi bagi saya sulit melupakan kejadian ini, bahwa ternyata pengamen pun punya standar minimal pemberian yang pantas ia terima. kita bisa menyebut upah pemberian minimum untuk pengamen (UPMP). Seribu dan terlebih pecahan di atasnya adalah pemberian yang akan membuat mereka berbinar. 500 adalah pemberian yang menenangkan mereka. 200 adalah standar yang mereka hargai sebagai standar kerja keras mereka dan 100 adalah pemberian yang masih mereka hargai sebagai sebuah pemberian. Sementara pecahan lain adalah bentuk penghinaan. Makan malam itu seharusnya sempurna. Sabtu malam yang indah. Di jalanan teramai seputar kampus Depok UI. Soal rasa makanan, lupakan saja. Sebab itu sungguh tak menjadi penting. Semuanya sempurna kecuali kehadiran bazis paksa tersebut. Tak perlu dirutuk sebenarnya, apa salahnya berbagi hanya saat diri dihardik, kendali emosi sering terluap tidak pada tempatnya. Jalan yang terlalu ramai pengamen yang terlalu banyak. Koin-koin itu tergerus. Dimulai dari koin 200, melanjut koin-koin seratus. Koin lima ratus yang jumlahnya tak banyak pun akhirnya menjadi hak mereka. Lembar seribu tak terbawa saat itu. Lembar 5000 itu terlalu mewah untukku yang masih meminta orang tua, bahkan hingga kini (kadang - kadang buat setengah bungkus rokok) Sampailah pengamen yang tampil sangat lengkap, bukan cuma kecekan. Pasangan bapak dan anak, dengan kaset pelantang musik, juga mikrofon yang membahana. Ia selesai menyanyi dan menunggu haknya sebagai pengamen profesional, lama menunggu dan tak juga beranjak. Masih ada satu koin tersisa. Sial … tak kuperhatikan pecahan koin itu. cuma 50 saja. Yah si anak mengomel, ia terus berdiri di samping tenda. Mulutnya meracau, ” kami bukan pengemis, tak perlu pemberian si miskin. huuuu” Astagfirullah..Saya terdiam, terlalu jujur ia berkata. Malam indah yang berujung pada tidur tak nyenyak. Sabtu yang ditutup dengan malam sepakbola pun tetap tak nikmat. Siapa yang salah. tak perlu menudingkan? yang bisa disimpulkan empati saya memang kurang saat itu. dan kurang berhati-hati. Lain kali saya akan peduli dengan salary cap itu (Chivas P/ 11 April 2010 jam 17:57)

Comments