“BUKAN TENTANG AKU, INI MADANINGRAT”
15 Nov 2010
“Seluruh dunia adalah satu kesatuan organism yang mencari kebenaran sejati. Tak jadi soal apakah dasar pengetahuan adalah agama, atau agamamu adalah pengetahuan, karena kita semua mencari arti kehidupan, kita semua mencari alasan keberadaan kita.karena semua ini berjalan dan berlalu dengan singkat. Karena itu kita harus melakukan perubahan, dengan dimulai dari cara pandang kita.”
Tak biasanya aku mencuci motor siang-siang hari terik matahari. Itupun Cuma membersihkan bagian-bagian yang aku pikir dapat merusak pandangan orang yang akan melihat motorku.
Aku berangkat pada pukul: 14.33WIB, menuju suatu tempat yang menurutku peluang prospek bagi pekerjaanku. Kemudia tak disangka-sangka dan ini di luar perkiraan, di luar rencana, bahkan yang menjadi awal dari kisah nasibku, ini takdirku…..
Nyawaku seketika terbang meninggalkan jasadku dan aku tahu, sadari itu, aku mati, dalam hitungan menit saat pikiranku melayang “aku adalah orang yang tidak pernah bersyukur dengan nasibku”, saat bersamaan itu pulalah jantung dan nafasku berhenti. ‘innalihai,wainnailaihi roji’un….
Motorku tersangkut di jembatan dan tubuhku terhempas di batu besar, dekat dengan aliran air sungai yang sejuk dan darah di kepalaku tak hentinya mengalir. Setiap orang yang melewati jembatan dengan jalan turunan yang langsung membelok ke kiri tersebut tak akan mau ketinggalan menyaksikan tragisnya kematianku…..
Dari sinilah kisahku diveritakan dan dimulai,,,,,,,,,
…………………………………………………………………………………………………………………………….
Semua naskah karya tulisan-tulisan yang telah lama ku buat ; novel-novel, artikel, puisi telah sampai ke meja pimpinan redaksi dan mereka menyukainya. Mereka menghubungiku di saat aku sudah kehilangan nyawaku. Tidak dapat lagi aku mengangkatnya. Merekapun menerbitkan karya-karyaku itu, dari 38 tulisanku 8 darinya terjual dengan luar biasa “the best seller”. Namun tidak ada yang mengetahui/ tidak ada yang mengenali siapa penulisnya, mereka hanya mengenal nama Scuyaq Bimasakti Still. Mereka (perusahaan penerbitan) berusaha menghubungi, mencari, memecahkan dan mengenali siapa penulis misterius ini: Madaningrat life madaningrat (bangsawan /dharmawan dhani & maya ahmad) inilah judul buku tersebut yang aku tulis. Mereka (perusahaan penerbitan) ingin mengadakan seminar, bertemu pers, dan lain sebagainya, namun kehilangan seorang penulis buku tersebut dan tak tahu siapa?. Hingga suatu saat, seorang karyawati redaksi penerbit ditugaskan untuk menyelidiki secara khusus menelusuri diriku. Seorang wanita yang bernama Dewi equivinna.
……………………………………………………………………………………………………………………………….
Aku merasa diriku tidak berguna, karena di tengah-tengah kesuksesan sahabat-sahabatku semasa kuliah dulu. Aku hanya seorang karyawan kontrak yang bekerja di lapangan salah satu Bank swasta yang ditargetkan untuk mencari nasabah. Aku tidak asing lagi dengan yang namanya ocehan, omelan, amarah dari bosku, jika aku tidak bisa mencapai target penjualanku. Aku berteman dengan orang-orang tua yang umurnya jauh lebih tua di banding umurku. Mereka semua sudah menikah dan anak yang sudah besar, hanya 2 orang yang masih lajang termasuk salah satunya aku. Aku sering bertemu dengan sahabat-sahabat kampusku dulu; mereka ada yang sudah menikah, punya anak, bahagia, punya perusahaan, jadi bos besar di perusahaan, pegawai negeri, kontraktor, anggota dewan, istri mereka cantik dan anak merekapun lucu.
Aku teringat saat aku kuliah dulu, di kampusku dulu, aku seorang aktivis, popular, sangat tidak menyenangi orang-orang yang berlagak, perempuan yang hanya mementingkan gaya hidup, berdandan, berlenggak-lenggok, laki-laki yang hanya bersenang-senang, play boy/ play girl, mempercantik diri, pokoknya yang tidak memikirkan orang lain. Mereka menghamburkan uang mereka, bersenang-senang, manikmati hidup dan aku membencinya.
Di kampus memang ada beberapa kelompok-kelompok satu gaya; inilah yang tidak pernah aku sadari, ada kelompok yang mementingkan trend gaya hidup, suka berkasih sayang yang kerjaanya pacaran melulu, suka hiburan, kelompok satu daerah/suku, kelompok hobi, petualangan, dan sebagainya. Para senior-senior kami di kampuspun sedari dulu inilah sekte-sekte mereka.
Nah, ternyata aku tidak pernah menyadari hal tersebut, karena setahuku setiap mahasiswa yang akan masuk ke Perguruan Tinggi (PT)/ kampus tujuannya adalah belajar, tidak ada hal lain selain belajar, lulus dan mendapatkan gelar kesarjanaanya. Tanpa kami sadari ternyata inilah karakter universality manusia yang tidak mau hdup sendiri, mereka butuh teman unntuk diajak, bergabung ke grup-grup mereka, kalau mereka tidak begitu, mereka akan kehilangan penerus, generasi untuk meneruskan perjuangan mereka, satu jenis, hobi, yang keyakinan itu (tongkat estafet) akan diteruskan di generasi selanjutnya. Ternyata pula ada yang bangga mereka telah menjadi apa yang mereka idamkan, dan ada juga yang sebaliknya, menyesalinya….
Aku teringat akan sebuah cerita dongeng; “ seekor burung Rajawali yang tidak pernah menyadari bahwa dia adalah burung Rajawali yang gagah. Hal itu dikarenakan saat itu sebuah telur Rajawali yang tak sengaja bercampur dengan telur-telur anak bebek, kemudian saat telur itu menetas, diapun mengikuti cara, pola hidup bebek-bebek tersebut, bahkan Ibu bebekpun menjadi Ibu yang baik baginya. Suatu ketika Ia berkaca di sungai yang jernih, Ia terkejut dan bingung akan perbedaan wujudnya dengan saudara-saudaranya itu, bahkan ibunya sendiri yang seekor bebek, terkadang hasrat di dalam diri merekapun berbeda, tetapi karena dia sangat merasa nyaman berada dilingkungan tersebut, hal itupun menjadi selamanya, yang tadinya seekor Rajawali menjadi Bebek”. Singkatnya ceritanya seperti itu.
Nah, dikampusku ada kelompok kecil yang terbilang tidak banyak jumlahnya dibandingkan kelompok-kelompok lainnya, kelompok ini disebut kelompok aktivis/organisatoris/ dan lain sebagainya sebagai pencapan atas kelompok tersebut. Sedari awal setiap kelompok yang sudah ada di kampus tersebut menanamkan ideologinya, gaya mereka, entah kenapa saat itu akupun menjadi salah satu dari kelompok kecil tersebut. Mungkin karena aku tertarik dengan gaya mereka; yang meneriakkan ketidakadilan., membicarakan sepanjang waktu untuk merumuskan mengatasi masalah kemiskinan, bicara masalah bangsa, negara, permasalahan rakyat, kesejahteraan, pemimpin yang rakus, otoriter, penyelewengan, penyimpangan, dan lain sebagainya. Mataku tak hentinya menganggumi para senior-seniorku yang bergaya di depan podium, di depan ratusan mahasiswa lainnya.
Kenapa hatiku, rasaku tergerak saat mereka membicarakan dan meneriakkan hal-hal tersebut. Apa aku bagian dari mereka atau bukan?. Inilah pertanyaan penting bagiku, ini adalah hal baru bagiku, karena sewaktu sekolah menengah dahulu, aku tidak pernah tahu mengenai hal-hal ini, yang kulakukan sewaktu SMU adalah bersenang-senang, membolos hingga aku harus memanjat dinding tembok yang pagarnya tinggi dan ada kawatnya bahkan, kebut-kebutan di jalan raya hingga suatu ketika tulang rusukku hampir rusak gara-gara dipukul polisi, menikmati kenakalanku, dihukum berkali-kali oleh guru wakil kepala sekolah, main basket dan jika mau main music band aku dan teman-teman selalu mengadakan acara pungli/ ngumpulin pajak di sekolahan, dan lain sebagainya, inilah masa remajaku.
Yang aku temui di kampus ini adalah hal baru bagiku. Akupun berkata pada diriku sendiri “bisakah aku suatu saat nanti berada di depan ratusan mahasiswa tersebut ?. inilah yang aku jalani, aku bergaul dengan senior-senior aktivis yang lain, aku mempelajari apa saja yang mereka sampaikan, bicarakan, lakukan, aku ikut berdemonstrasi di jalanan, di didik di kelompok-kelompok mereka. Hingga aku tidak pernah memperdulikan hal lainnya, kadang aku sampai tidak pulang-pulang ke rumah, tasku menjadi rumah kedua bagiku; isinya bermacam-macam, yang jelas peralatan sehari-hari. Aku bahkan terkadang mendzolimi diriku sendiri, aku tidak menyadarinya, seolah-olah otakku di cuci ualng dan dimasukkan oleh hal-hal baru.
Akhirnya aku berada di depan ratusan mahasiswa seperti yang aku inginkan, hanya dalam jangka waktu lebih kurang 2 tahun. Aku memimpin demo berulang kali, berteriak tentang keadilan, kemiskinan, korupsi, dan banyak hal lainnya. Aku menjadi diriku, menjadi yang aku inginkan pada saat itu. Aku sangat bangga, aku popular, orang menghormatiku, segan, aku suka sekali saat para wanita mencium tanganku dan memanggilku kakak/ abang, bahkan aku membenci orang-orang yang mementingkan dirinya sendiri, tidak pernah memikirkan nasib orang lain. Aku selalu dengan jadwal aktivitas yang penuh menyempatkan diri setiap satu minggi dua kali ke perpustakaan, selagi kebanyakan mahasiswa di kampus membicarakan hal-hal yang berbau hiburan, film, majalah gaya, gaya hidup dan sebagainya, aku disibukkan dengan diskusi dengan para aktivis dan dosen-dosenku, sembari kebanyakan orang-orang membicarakan tentang gaya pakaian baru, trend rambut baru, sepatu dan kacamata yang sebatas pengetahuanku adalah penampilan yang superkeren. Aku haus akan ilmu dan wawasan, jika dosenku tidak masuk hari itu, aku segera mencarinya dan menghubunginya sembari mahasiswa yang lainnya sibuk berkemas dan beranjak akan pergi meninggalkan ruangan kelas dan pulang.
Bahkan di saat kampus sudah sunyi sepi, aku dan sebagian kecil teman lainnya masih saja menyibukkan diri dengan rapat/pertemuan dam merumuskan program-program kegiatan yang bermanfaat (menurut kami) untuk masyarakat, bahkan sering kami meminta dispensasi kepada penjaga keamanan kampus (Satpam) supaya bisa menginap, hingga tiap malam minggu yang di segel oleh sebagaian besar mahasiswa untuk berkasih sayang dengan pasangannya. Aku dan teman-temanku yang segelintir kecil orang ini di sibukkan dengan, jika tidak menyampaikan materi ke kelompok-kelompok masyarkat yang ada di desa-desa, berdiskusi di kampus hingga larut malan atau bahkan kami berada di kaki bukit dan sedang menggali permasalahan-permasalahan masyarakat sekitar sana. Hingga aku tahu dan pernah bertanya, aku tahu shoe hoek gie, tapi zaman kami berbeda, aku sangat meyakini perilaku Muhammad, tapi sudah pasti kami tidak akan pernah menjadi seperti dia.
Masa akhir materi perkuliahan menghampiriku, sebagian besar angkatan yang sama masuk start belajar di kampusku sudah meninggalkan/ lulus/ mendapatkan gelarnya dari kampus tersebut, dan aku tidak pernah mendengar cerita-cerita, berita tentang mereka. Jarak dua tahun yang seharusnya aku telah lulus dan menyelesaikan perkuliahan sebagai standarisasinya dari yang aku jalani selama tujuh tahun ini. Laporan akhir penelitianku dengan mudahhnya aku selesaikan, aku bukan tergolong mahasiswa yang akan abadi di kampus ini, karena aku tahu aku pasti akan melawan aturan main di PT tersebut. Dan akupun tindak pernah menginginkannya, akrena pertama pemimpin PT tersebut sangatlah mengenalku dan hubungan kami sangat baik, aku sangan menghormati dan menghargainya, kedua; aku memikirkan kemampuan keluargaku yang sangat jelas, kami tergolong kelurga yang hanya berkecukupan dan sangat sederhana, kemampuan orang tua ku sangatlah terbatas.
Di kampus aku menjalani kehidupan perkuliahan dengan terseok-seok, memang untuk membiayai kuliahku, walau terkadang hanya sedikit yang aku bisa bantu orang tuaku dalam membiayai kuliahku itu, saat aku bisa berhemat dari kiriman-kiriman mereka. Ketiga; aku sudah kekurangan sebagian temanku yang sering bersamaku dan jelas aku juga punya mimpi pada saat itu untuk membuat hal-hal baru yang luar biasa di muka bumi ini (hanya sekedar falsafahku saja). Aku lulus dan berbuat semampuku, 1 tahun aku tidak pernah memanfaatkan ijazahku, mengeluarkannya untuk ku jadikan profil di sebuah perusahan agar bisa dipekerjakan, yang kulakukan hanya hal-hal kecil yang kuanggap mungkin ini berguna, aku menulis dikoran, menulis untuk diriku sendiri, aku bergabung di sebuah kelompok penggerak pembangunan desa. Yang tak bisa aku lepaskan adalah membaca dan menulis di catatan-catatan jurnalku mengenai apa saja yang ku ingat hanya mudah-mudahan ini berguna untuk orang lain.
Aku bertemu dengan sebagian orang-orang yang satu kampus denganku dahulu, mereka sudah menikah dengan jabatan karier yang baik, ada yang berprofesi sebagai kontraktor seperti orang tuanya, pimpinan/manager di perusahaan, pegawai negeri sipil dengan tanah yang luas. Istri mereka cantik dan bekerja dengan karier yang baik pula, bahkan ada yang sudah memiliki dua orang anak. Fasilitas yang mereka miliki dan pakai bermacam-macam dan semuanya menunjukkan kemewahan.
Sebagian dari mereka pada saat di kampus adalah orang-orang yang tergolong aku benci, karena saat itu mereka yang aku sebut hanya memikirkan gaya hidup, penampilan dan diri mereka sendiri. Tapi sekarang aku sudah lebih dewasa mengagumi mereka.
Aku sempat berfikir “sejahterakanlah dirimu dulu, angaktlah derajatmu dulu, baru kamu akan memperluas kesejahteraan tersebut”, tapi sampai batas waktunya kapan itu terjadi, kebanyakan dari mereka yang jelas memiliki prinsip individualis dan egois kecenderungan sedikit sekali orang sekitanya akan mendapatkan tetesan kesejahteraan dari martabat kehormatan tersebut, alih-alih mereka akan mendengungkan, kami belum sejahtera, baru akan mudah-mudahan dan doakan saja, karena batas dan tingkat kesejahteraan tak bisa kita ukur toh, walaupun kamu sudah memiliki segalanya, tetap saja perbandingan kesejahteraan akan mengikuti pola contoh siapa yang diatasnya lebih sejahtera, ya, hingga diri kita sendiri tidak bisa menghindari dan berdengung kembali, kami belum sejahtera. Manusia yang hasrat dasarnya rakus, tidak pernah puas, suka berlebih-lebihan, bagaimana mereka akan berbagi dengan orang lain, tapi mudah-mudahan walau sedikit mereka pasti punya cara sebagai orang yang beriman dan membutuhkan orang lain pikirku.
Malu rasanya bertemu dengan teman-teman yang tadinya aku anggap salah memandang sesuatu, tapi mereka berhasil; harta, tahta bahkan wanita yang mereka dapatkan kontras sekali dengan kondisiku sekarang. Sempat aku berfikir, mungkin aku yang salah, selalu berbuat kesalahan, sok benar dan merekalah yang terbukti benar. Aku belum bisa membuktikan apa-apa ke mereka, seolah-olah mereka mencibir dan menghujaniku dengan tertawaan joker yang tak kunjung habisnya. Ini yang dulu dikampus terlihat hebat, sekarang tak jauh berbeda, tidak ada peningkatan dalam hidupnya, seolah-olah itu yang mereka pikirkan tentang diriku. Aku hanya bisa diam dan terenyum saat bertemu dan mendengar kabar teman-temanku yang menikmati kebahagiaan hidupnya.
Aku terlambat memulai dari awal, semuanya; berkarier, belajar, begitupun setimpal dengan hasil yang aku dapatkan, apakah ada sesuatu yang aku dapatkan selain penyesalan?. Terkadang aku sesalkan, kenapa aku bisa dibutakan oleh kelompok minoritas yang disaat mereka di luar kampus tidak memiliki taji dan bukti yang pasti, bahkan rata-rata teman-temanku masih mencari posisi, mencari pujaan hati, menggali harta karun yang tersembunyi yang bahkan peta letak harta karun tersebut tertanam dan berada di titik koordinat berapa, kami tak tahu pasti.
Mengapa tidak dari dahulu, aku mendahulukan diriku, kepentingan diriku dulu, baru pada saat kepentingan dan kebutuhan diriku sudah kudapati dan terpenuhi baru aku akan membantu orang lain, tapi aku pasti tidak akan sempat membantu mereka, karena aku lebih akan disibukkan dengan diriku sendiri. Kenapa aku malah mendzolomi diriku sendiri, hingga saat sekarang ini, inilah hukuman dari memikirkan nasib orang banyak dan kita tidak peduli dengan keadaan diri kita sendiri. Inilah kesalahan fatal kehidupan yang aku jalani, ingin sekali aku memutar waktu tersebut. Sehingga akupun tidak pernah dan perlu tertegun seorang diri di tiap keheningan malam, mengangisi nasib keluarga dan kedua orang tuaku sampai detik ini belum pernah menikmati fasilitas yang mewah dan berangkat beribadah ke tanah suci.
Aku terlena dengan kesombongan-kesombongan di masa kejayaan di kampus dulu, aku selalu di puji, di segani, di manja, di panuti. Hingga saat ini aku malu dan aku belum dapat membuktikan tentang teriak-teriakkan ku yang hamper saja uraat nadikupun terputus, lantangnya aku berkata ‘jika nanti aku menjadi pemimpin negara ini, aku bisa mensejahterakan rakyatku, aku akan memimpin negara ini dengan etika, moral dan keadilan atas derita rakyat, rakyat tidak boleh mengangis,, aku selalu berkata “hidup Indonesia, Hidup rakyat!!!”. Tidak pernah terlintas di pikiranku “hidup diriku”, maka “rakyat dan Indonesia Hidup”.
Sekarang aku terus menuliskan jejak-jejak, gagasan-gagasanku akan dunia dan kehidupan ini. Sehingga aku hanya berharap saat aku tidak bisa membuktikan kepada diriku sendiri, setidaknya aku bisa menutupi lubang-lubang kesalahan yang telah aku buat, sehingga orang bisa berfikir tentang kedewasaannya, memilih apakah membutkitkan siapa atau sebaliknya. Memang aku tidak bisa berbuat banyak tentang mimpi-mimpiku, walau sekalipun aku memiliki kemampuan itu, karena ini tentang keidealisanku. Inilah yang aku perdebatkan di dalam diriku ini, sehingga naluri perlawananku terhadap penyimpangan dan ketidaksesuaian dalam meraih karier siap memompa peluru-peluru yang aku arahkan ke medan pertempuran kenyamanan diri ini.
Sekarang aku hanya berkarier sebagai petugas kontrakan perusahaan swasta, untuk memnuhi kebutuhan sehari-hariku, selain itu aku masih bisa mendampingi masyarkat desa dan mengajar mahasiswa di salah atu PT, namun semua profesi itu tidak ada yang tetap, hanya kontrakan saja.
Ini juga yang membaut aku semakin menyadari, negara ini belum bisa meyakinkanku sepenuhnya, satu sisi banyak orang dipaksakan berbangga hati dan menikmati fasilitas yang tersedia dan kemakmuran negeri ini, sampai-sampai benang-benang yang seharusnya lurus, terkadang terpaksa bengkok atau bengkok dengan sendirinya. Melihat kondisi yang ada aku berbicara, entah, kita yang salah jurusan, sehingga korelasi karierpun kita salah, hingga dampaknyapun akan terasa, atau jurusan yang kita ambil sudah benar, namun dalam berkarier kita harus mengikuti alur dan aturan main kehidupan atau fasilitas-fasilitas yang ada dibuat sebagaimana mungkin untuk mengadakan sesuai kemampuan jurusan kita. Misalnya saja, kita yang menimba ilmu ekonomi korelasinya berkarier dan membangun ekonomi, bukan di politik, dsb.
………………………………………………………………………………………………
Dewi equivina memulai pencariannya dari alamat asal dari mana aku mengirimkan naskah-naskah tulisanku. Akhirnya akupun diketemukan, Dewi berhasil menemukan siapa penulis MADANINGRAT itu, itu aku Scuayq Bimasakti Still. Sepulang dari kotaku berada, Dewi equipina langsung menginformasikan kepada pelanggan, perusahaan penerbitan yang saat ini menikmati tulisanku, penulis madaningrat yang bernama Scuyaq Bimasakti Sill telah tiada, meninggal karena kecelakaan. Penikmat karya-karyakupun terkejut akan berita tersebut dan bersedih. Teman-temanku yang juga ikut menikmati kisahku melalui karyaku itupun merasakan hal yang sama. Mereka memang kagum dengan diriku, tapi semua itu hanya tinggal namaku, ajaran-ajaran melalui karya-karyaku yang diterbitkan, dari situ mereka mengenangku.
Dewi Equipina adalah wanita yang tak lain satu SMU denganku dahulu, cantik, menawan, kaya, pujaan setiap pria di sekolahanku dulu, beliau menemui keluargaku dan memberikan semua hak-hak yang kuperoleh dari karya-karyaku tersebut. Aku memang egois dengan pikiranku, sehingga aku pun kurang bisa menikmati dan bersyukur dengan apa yang ada padaku. Tapi saat-saat terakhir, mengapa aku bangun pada siang hari saat itu dan langsung tersenyum dan mencuci kendaraan roda duaku, itu karena semalam seorang Dedi Mizwar yang mengajarkanku melalui karyanya tentang ‘keikhlasan’, aku menjadi orang yang paling bahagia dan bersyukur. Aku seorang petugas/ karyawan kontrakan, masih tetap mengabdi di masyarakat, aku berguna, aku masih bisa mengamalkan dan berbagi ilmu-ilmu yang aku dapatkan kepada orang lain dengan mengajar. Aku menyadari Tidak ada zona kenyamanan yang abadi di dunia ini, aku bangga dengan pilihanku, bahkan sedikit orang yang berani mau menjadi seperti yang aku jalani, di saat kebanyakan orang memikirkan diri sendiri, aku menyibukkan diri dengan memikirkan nasib orang lain/banyak/masyarakat. Bisa dihitung dengan jari orang-orang yang terpilih dan memilih jalan tersebut, seperti salah satunya diriku ini. Setidaknya jalan yang kupilih sesuai dengan keyakinanku. Muhammad sebagai panutanpun polanya tida jauh berbeda dengan kami yang sedikit ini, walau sedikitpun tak menyentuh kehebatan karya-karya yang telah dia lakukan, tapi dia orang yang terpilih dan memilih bisikan jalan tersebut. Aku ikhlaskan semua, ikhlas dengan apa yang ada, apa yang telah aku miliki, apa yang tidak kumiliki, bahkan aku ikhlaskan dengan mimpiku hingga saat kepergianku belum memiliki pujaan hati, ikhlas walau hanya satu wanita yang bisa aku cintai sampai detik ini, ini aku sadari terus- menerus karena setiap kode/ pasword yana ada dengan pasti kutulis adalah sundria.
Oleh: Scuyaq Bimasakti Still
Comments
Post a Comment