Nasionalisme Indonesia di Persimpangan Jalan?

Deny Nofriansyah Mencermati berita tentang hubungan bilateral antara Indonesia dan Malaysia akhir-akhir ini tentu tidak dapat dilepaskan relevansinya dari wacana Nasionalisme dalam berbangsa. Saya jadi teringat akan beberapa tulisan saya mengenai nasionalisme dan demokrasi, salah satu nya tentang nasionalisme dengan judul seperti di atas (terbit di harian Linggau Pos 2008) sbb : Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan SBY dari awal periode kepemimpinannya yang pertama memang disibukkan oleh maraknya wacana yang diwaspadai cenderung ke arah separatisme di beberapa wilayah Indonesia. Mulai dari pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) di depan mata RI 1, pengibaran sang Bintang Kejora di depan umum, sampai pada isu fenomenal tentang atribut dan bendera GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang ingin dijadikan simbol oleh salah satu partai politik lokal di Aceh. Istilah nasionalisme jika diartikan secara sederhana merupakan suatu paham atau sikap cinta terhadap tanah air dan bangsa. Suatu makna dari istilah yang mungkin bagi sebagian orang sangat sederhana ataupun buat sebagian orang lagi adalah suatu istilah yang sangat mudah untuk dihafal, lalu apakah esensi dari makna nasionalisme memang sedemikian sederhananya? Ternyata semangat nasionalisme inilah yang mendorong lahirnya Budi Utomo (20 Mei 1908) organisasi pergerakan nasional yang kemudian dijadikan peristiwa monumental sebagai hari kebangkitan nasional. Semangat nasionalisme ini juga yang mampu menyatukan berbagai suku, bahasa, agama, dan keanekaragaman lainnya sehingga kaum muda pada masanya dapat mencetuskan peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda. Melalui semangat nasionalisme yang berkobar-kobar bangsa Indonesia mampu melawan dan mengusir penjajah hingga dapat meraih dan memproklamirkan kemerdekaannya. Perjuangan aktivis 1998 dengan semangat nasionalisme untuk memperbaiki kondisi bangsa Indonesia juga telah melahirkan sebuah era yang kemudian dinamakan reformasi. Sungguh, semangat nasionalisme keindonesiaan kita faktanya memiliki esensi makna yang mendalam sehingga mampu menciptakan karakteristik berbangsa yang mampu melahirkan Pancasila. Nasionalisme keindonesiaan kita telah berkali-kali mampu menjawab persoalan bangsa. Pertanyaan yang muncul di benak kita kemudian adalah mengapa dalam kondisi kekinian nasionalisme tidak lagi populer sebagai solusi permasalahan bangsa?. Jawabnya adalah bahwa telah terjadi degradasi atau erosi pengamalan nasionalisme dalam berbangsa diantara kita. Kita hanya sibuk dengan kepentingan diri sendiri dan kelompok kita masing-masing. Kita telah melupakan bahwa ada kepentingan yang lebih luas yang harus kita perjuangkan yaitu kepentingan bersama dalam bernegara. Berbicara tentang degradasi nasionalisme dalam konteks kekinian maka mau tidak mau kita harus berbicara mengenai globalisme dan lokalisme. Pada saat ini nasionalisme kebangsaan kita makin redup ditutupi oleh awan globalism dan kabut localism. Globalisme Dalam beberapa tahun terakhir ini globalisasi masih saja terus menjadi perdebatan panjang di tataran Negara-negara di dunia. Globalisasi yang banyak diusung oleh Negara maju dan adikuasa ini adalah sebuah era dimana terjadi peningkatan hubungan dan keterkaitan antar bangsa dan antar manusia di dunia melalui perdagangan, investasi, budaya dan bentuk interaksi lainnya sehingga batas suatu Negara menjadi bias. Dari wacana globalisasi maka lahir sebuah paham pendukung globalisasi yaitu globalisme sebuah paham yang menganggap bahwa bumi ini satu, tidak ada batas-batas geografis, batas budaya, batas ekonomi dan batas-batas lainnya. Globalisasi pada awalnya diharapkan mampu membentuk masyarakat dunia yang berkembang, maju, toleran dan bertanggung jawab. Namun sebagian manusia lainnya menganggap bahwa globalisasi dengan globalismenya merupakan bentuk baru dari kapitalisme modern yang paling muktahir yang akan menghapus jati diri dan indentitas berbangsa. Berbagai pro dan kontra mengenai globalisasi terus saja mengalir, ini merupakan konsekuensi logis dari suatu kebijakan yang memang harus membonceng efek positif dan efek negatif sekaligus. Yang perlu kita lakukan adalah menyingkapinya dengan arif, kita harus mempersiapkan diri dengan berbagai efek negatif dari globalisasi yang mungkin akan menyerang kita. Untuk itu pemerintah sebagai pemimpin bangsa ini harus mempersiapkan filter terhadap berbagai budaya yang masuk dari luar. Hal ini perlu dilakukan karena globalisme dan globalisasi dapat menelan berbagai kebudayaan lokal dan diganti dengan kebudayaan global yang homogen buah ekspansi dari yang paling “adi kuasa”. Pada saat inilah penjajahan model baru akan terbentuk, di sisi lain jika terlambat diantisipasi maka nasionalisme dalam berbangsa akan terkubur rapat, diam dan tak berdaya. Ketika nasionalisme tidak dijadikan karakteristik berbangsa sebagai filter globalisasi maka Indonesia hanya akan menjadi buruh di tanah sendiri. Implikasi yang lebih buruk lainnya adalah akan terjadi alienasi generasi muda di tengah Bangsa sendiri, akan terjadi ketergantungan pada perusahaan multinasional atau perusahaan-perusahaan dari luar negeri karena perusahaan dalam negeri belum siap untuk bersaing. Implikasi selanjutnya adalah munculnya generasi yang dirasuki oleh “Mc.Donaldisasi” dan sejenisnya sehingga membudaya menjadi trend dan tolok ukur dari prestise kemodernan masing-masing individu. Pada saat segala sesuatunya telah membudaya mungkin tidak akan ada lagi makanan khas Indonesia (misalnya, tempe, tempoyak, dll) karena dianggap kurang mendunia, dan kurang trend. Jika tidak ada lagi karakter nasionalisme di tengah globalisasi maka kita akan kehilangan segalanya, kita akan malu membeli dan memakai produk buah tangan bangsa sendiri atau bahkan kita malu menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Pada kondisi tersebut semuanya berfikir tentang kepentingan diri sendiri dan kepentingan kelompok. Semuanya bersaing secara bebas, siapa kuat dia jadi pemenang, siapa pemilik modal besar dia adalah penguasa, yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin bertambah miskin, permasalahan bangsa, pengangguran, apalagi tentang nasionalisme “not my bussines” yang penting perutku buncit. Ini hanyalah gambaran kecil dari ekses negatif globalisme yang jika tidak diwaspadai dan diantisipasi oleh nasionalisme kebangsaan yang kuat maka Indonesia akan kehilangan jati diri sehingga hanya dijadikan sumber bahan mentah dan tempat pembuangan barang sisa oleh para adikuasa. Tampaknya Indonesia harus belajar banyak dari Jepang yang mengglobal tetapi tetap memiliki semangat nasionalisme kebangsaan yang tinggi. Lokalisme Di tengah-tengah situasi umum yang berbicara tentang globalisme ternyata lokalisme di Indonesia makin meningkat popularitasnya. Otonomi Daerah (Otoda) adalah salah satu faktor pendorong makin meningkatnya lokalisme. Dengan otoda kecenderungan orang mementingkan diri sendiri, kelompok dan golongannya juga cenderung meningkat. Lihat saja fenomena era otoda saat ini yang dapat menyebabkan satu Kabupaten dengan kabupaten lainnya saling berebut wilayah. Ketika segala sesuatunya hanya berfikir, berbicara, dan bertindak tentang lokal maka itulah yang disebut dengan lokalisme. Jika yang mendominasi adalah lokalisme maka nasionalisme pun akan mengalami degradasi. Konflik antar daerah, konflik antar kelompok, sentimen etnis dan agama adalah beberapa hal yang terjadi ekses dari lokalisme. Dengan fanatisme lokalisme maka setiap orang atau kelompok merasa paling berhak atas tanah atau daerah tertentu, mayoritas menindas dan pongah sedangkan minoritas eklusif dan tidak toleran. Nasionalisme Indonesia memang belum hancur separah ini namun indikasi menuju keruntuhan nasionalisme makin terlihat jelas. Waspada! Itulah kata yang tepat untuk kita. Harus ada ketahanan moral dengan karakteristik nasionalisme warisan founding fathers agar Negara ini tidak hancur. Pemimpin harus memberi contoh tentang nasionalisme dan rakyat harus mengamalkannya dalam berbangsa. Pun, ketika dikaji ternyata pelaksanaan otoda telah kebablasan maka kita harus berani untuk merevisi Undang-undang tentang otoda. Kita juga harus belajar dari Amerika Serikat, sebuah Negara federal tetapi tetap memiliki semangat nasionalisme yang kental. Gambaran ekses negatif dari globalisme dan lokalisme di atas adalah sebuah fenomena yang perlu disingkapi dengan menumbuhkembangkan ketahanan moral bangsa berkarakter nasionalisme. Nasionalisme yang harus kita kembangkan adalah nasionalisme yang berdasarkan kemanusiaan (humanity) bukan nasionalisme sempit yang berwatak chauvinistis (right or wrong is my country). Nasionalisme masih tetap relevan untuk dibicarakan sepanjang bangsa ini masih tercabik-cabik oleh kepentingan diri sendiri dan kelompok. Marilah sejenak kita berbicara tentang nasionalisme dan bagaimana cara menumbuhkembangkan nasionalisme walaupun tidak mampu membuat kenyang perut yang lapar, tetapi rasa kebangsaan yang tinggi dapat melakukan hal yang lebih dari itu. Dengan rasa kebangsaan atau nasionalisme yang tulus, jujur, dan luhur maka tidak akan mengalir dana Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) untuk nelayan ke kantong para pejabat dan politisi, tidak akan ada penyelundupan pasir laut dan granit ke Singapura oleh sekelompok orang, dan tidak akan terjadi bentrok antara aparat dan masyarakat hanya karena sebidang tanah. Mulai saat ini kita harus mampu membangun frame berfikir tentang kepentingan bersama karena musuh bersama kita adalah kemiskinan dan keterbelakangan. Sepertinya kita harus kembali mengingat, memahami, dan mengamalkan bait demi bait lagu “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Negara kita………………..”

Comments